Borang Maklumat Hubungan

Nama

Email *

Pesan *

Halaman

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Program Abolisi Massal dan Pembebasan Napi: Langkah Rekonsiliasi atau Manuver Politik?

 Jakarta, 3 Agustus 2025 – Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto telah resmi meluncurkan program abolisi massal yang membebaskan setidaknya 1.178 narapidana pada tahap awal, termasuk dua tokoh politik ternama, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dan mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong). Kebijakan ini merupakan bagian dari rencana besar untuk mengampuni hingga 44.000 tahanan, yang diklaim sebagai upaya memperkuat persatuan nasional dan mereformasi sistem peradilan. Namun, langkah ini menuai sorotan publik karena dianggap sarat dengan nuansa politik, meskipun pemerintah menegaskan bahwa tujuannya adalah rekonsiliasi nasional menjelang peringatan HUT ke-80 Republik Indonesia.

Latar Belakang dan Kronologi Program Abolisi

Program abolisi dan amnesti ini pertama kali mencuat pada Desember 2024, ketika Presiden Prabowo mengadakan rapat terbatas dengan sejumlah menteri untuk membahas pengampunan narapidana. Menurut Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas, kebijakan ini bertujuan mengurangi kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan, mempromosikan kemanusiaan, dan mendorong rekonsiliasi di berbagai wilayah, termasuk untuk kasus-kasus politik ringan seperti penghinaan terhadap kepala negara melalui UU ITE dan makar tanpa kekerasan di Papua. Dari 44.000 narapidana yang diusulkan, hanya 1.178 yang lolos verifikasi tahap awal, termasuk Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong, yang kasusnya menjadi sorotan utama.

Pada 30 Juli 2025, Presiden Prabowo mengajukan dua Surat Presiden (Nomor R-42/Pres/07/2025 dan R-43/Pres/07/2025) kepada DPR untuk meminta pertimbangan pemberian amnesti kepada 1.116 narapidana, termasuk Hasto, dan abolisi untuk Tom Lembong. Rapat konsultasi antara pemerintah dan DPR pada 31 Juli 2025 menghasilkan persetujuan dari seluruh fraksi, memungkinkan penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) pada 1 Agustus 2025. Hasto Kristiyanto dibebaskan dari Rutan KPK pada pukul 21.22 WIB, sementara Tom Lembong keluar dari Rutan Cipinang sekitar pukul 22.00 WIB pada hari yang sama.

Detail Kasus Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong

Hasto Kristiyanto, yang divonis 3,5 tahun penjara pada 25 Juli 2025 terkait kasus suap penggantian antar waktu (PAW) anggota DPR yang melibatkan Harun Masiku, menerima amnesti. Vonis tersebut lebih rendah dari tuntutan jaksa KPK yang mencapai 7 tahun, dan KPK sempat mengajukan banding sebelum amnesti diberikan. Amnesti ini menghapus hukuman pidana Hasto, meskipun catatan perkara tetap ada.

Sementara itu, Tom Lembong, yang divonis 4,5 tahun penjara pada 18 Juli 2025 atas kasus korupsi impor gula yang merugikan negara sebesar Rp194,72 miliar, mendapat abolisi. Abolisi ini menghentikan seluruh proses hukum yang sedang berlangsung, termasuk banding yang diajukan Tom, sehingga secara efektif "membersihkan" namanya dari tuduhan. Hakim menyatakan bahwa Tom tidak menikmati hasil korupsi, namun kasusnya tetap menuai kontroversi karena dugaan keterlibatan pihak lain.

Tujuan dan Alasan Pemerintah

Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menegaskan bahwa pemberian abolisi dan amnesti didasarkan pada kepentingan nasional, khususnya untuk menjaga kondusivitas menjelang HUT ke-80 RI. “Presiden ingin semua komponen bangsa berpartisipasi dan bersama-sama membangun Indonesia,” ujar Supratman. Ia juga menyebut bahwa kedua tokoh tersebut memiliki kontribusi signifikan bagi negara, yang menjadi salah satu pertimbangan pemberian pengampunan. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menambahkan bahwa keputusan ini merupakan bagian dari upaya merajut persaudaraan dan memperkuat persatuan politik pasca-Pemilu 2024 yang penuh dinamika.

Pemerintah juga menegaskan bahwa kebijakan ini tidak melemahkan komitmen terhadap pemberantasan korupsi. Supratman meminta publik untuk tidak khawatir, dengan menegaskan bahwa Presiden Prabowo dan aparat penegak hukum tetap fokus pada penegakan hukum. Selain itu, program ini mencakup pengampunan untuk narapidana dengan kriteria tertentu, seperti pengidap penyakit berkepanjangan, gangguan jiwa, pengguna narkotika yang seharusnya direhabilitasi, serta narapidana kasus makar ringan di Papua.

Kontroversi dan Tanggapan Publik

Keputusan ini memicu beragam reaksi. Sejumlah kalangan, termasuk Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), mengapresiasi langkah Presiden Prabowo sebagai bentuk kenegarawanan dan upaya rekonsiliasi nasional. Wakil Ketua MPR AM Akbar Supratman menyatakan bahwa kebijakan ini dapat menjadi awal penyatuan semangat politik nasional. Sementara itu, Sekjen Partai Golkar Sarmuji menyebut pemberian amnesti dan abolisi sebagai langkah untuk menjaga persatuan, sesuai dengan hak konstitusional presiden berdasarkan Pasal 14 UUD 1945.

Namun, pengamat hukum seperti Bivitri Susanti dan Feri Amsari menilai kebijakan ini sarat dengan muatan politik. Bivitri menyebut pemberian abolisi dan amnesti berpotensi menciptakan preseden buruk bagi pemberantasan korupsi, terutama karena ini adalah kali pertama amnesti dan abolisi diberikan kepada terpidana korupsi sejak UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954. Feri menyoroti bahwa kasus Hasto dan Tom memiliki latar belakang politik yang kuat, sehingga keputusan ini tidak dapat dipisahkan dari dinamika politik pasca-Pemilu. Peneliti ICW Yassar Aulia juga memperingatkan bahwa langkah ini dapat melemahkan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan dan prinsip checks and balances.

Mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) turut mengomentari, menyatakan bahwa keputusan ini adalah hak prerogatif presiden yang pasti telah melalui pertimbangan hukum, sosial, dan politik. Namun, isu keretakan hubungan antara Jokowi dan Prabowo sempat mencuat di kalangan publik, meskipun tidak ada pernyataan resmi yang mengkonfirmasi hal ini.

Dampak dan Implikasi

Pembebasan Hasto dan Tom telah menimbulkan diskursus publik tentang perbedaan antara abolisi dan amnesti. Abolisi menghentikan seluruh proses hukum dan menghapus tuntutan pidana, seperti yang diterima Tom Lembong, sehingga kasusnya dianggap selesai tanpa catatan hukum. Sebaliknya, amnesti, seperti yang diberikan kepada Hasto, hanya menghapus hukuman pidana, tetapi vonis tetap tercatat. Keduanya diatur dalam Pasal 14 UUD 1945 dan UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954, dengan syarat mendapat persetujuan DPR.

Keputusan ini juga memunculkan pertanyaan tentang akuntabilitas hukum. Zainal Arifin Mochtar, seorang pengamat hukum, menyatakan bahwa pemberian amnesti kepada Hasto dapat membuka peluang pengampunan bagi pelaku korupsi lain yang “ikut serta” dalam tindak pidana, sementara abolisi untuk Tom berpotensi memutus dugaan keterlibatan pihak lain dalam kasus impor gula. Hal ini dikhawatirkan dapat melemahkan upaya penegakan hukum di masa depan.

Di sisi lain, pendukung kebijakan ini, seperti Koordinator MAKI Boyamin Saiman, menghormati hak prerogatif presiden dan meminta KPK untuk tidak kehilangan semangat dalam pemberantasan korupsi. Kuasa hukum Hasto, Ronny Talapessy, menyambut gembira amnesti kliennya, menegaskan bahwa kasus Hasto sejak awal bermuatan politik dan tidak seharusnya menjadikannya korban kriminalisasi.

Respon dari Pihak Terkait

Hasto Kristiyanto, usai bebas, menyampaikan terima kasih kepada Presiden Prabowo, Megawati Soekarnoputri, dan kader PDIP atas dukungan selama proses hukumnya. Ia tampak mengepalkan tangan sebagai simbol perjuangan saat keluar dari Rutan KPK, didampingi pengacaranya, Febri Diansyah, Arman Hanis, dan Maqdir Ismail.

Tom Lembong, di sisi lain, mengungkapkan rasa syukur atas pembebasannya, menyebut abolisi ini tidak hanya membebaskannya secara fisik, tetapi juga memulihkan nama baik dan kehormatannya sebagai warga negara. Didampingi istrinya, Maria Francisca Wihardja, dan Anies Baswedan, Tom menyapa pendukung dan media dengan penuh emosi, menyebut pengalaman sembilan bulan di tahanan sebagai momen refleksi yang menantang.

Menuju HUT ke-80 RI

Pemerintah menegaskan bahwa program abolisi dan amnesti ini merupakan bagian dari peringatan HUT ke-80 RI, dengan fokus pada persatuan dan pembangunan nasional. Selain Hasto dan Tom, pemerintah juga mengusulkan amnesti untuk tujuh anggota Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Makassar yang menyatakan setia kepada NKRI, serta narapidana dengan kondisi kesehatan tertentu. Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa proses pengampunan telah melalui verifikasi ketat dan tidak mencakup narapidana politik bersenjata demi alasan keamanan.

Namun, dengan sorotan publik yang terus berkembang, kebijakan ini tetap menjadi topik hangat. Apakah langkah ini benar-benar akan memperkuat persatuan nasional, atau justru memicu ketidakpercayaan terhadap sistem hukum? Hanya waktu yang akan menjawab, tetapi yang jelas, program abolisi massal ini telah membuka babak baru dalam dinamika politik Indonesia.

Sumber Berita:

  • BBC News Indonesia, 2 Agustus 2025

  • Hukumonline.com, 1 Agustus 2025

  • Liputan6.com, 1 Agustus 2025

  • Antara News, 2 Agustus 2025

  • Tribunnews.com, 31 Juli 2025

  • Erakini.id, 1 Agustus 2025

  • Merdeka.com, 1 Agustus 2025