Borang Maklumat Hubungan

Nama

Email *

Pesan *

Halaman

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Fenomena Tagar #KaburAjaDulu: Tanda Keresahan Generasi Muda Indonesia

Dalam beberapa pekan terakhir, tagar #KaburAjaDulu menjadi trending di berbagai platform media sosial seperti X (Twitter), TikTok, dan Instagram, mencerminkan ekspresi keresahan generasi muda

Indonesia terhadap situasi sosial, ekonomi, dan politik yang dianggap stagnan, tidak adil, atau kurang memberi ruang bagi pertumbuhan individu—dengan banyaknya unggahan dari Gen Z yang mengutarakan niat untuk pindah ke luar negeri baik melalui jalur beasiswa, program migrasi profesional, kerja remote, hingga sekadar mimpi untuk hidup lebih layak, muncul pula berbagai diskusi publik dari akademisi, sosiolog, dan tokoh nasional mengenai meningkatnya potensi "brain drain", yakni eksodus sumber daya manusia terdidik yang memilih berkembang di negara lain karena merasa tidak dihargai di tanah air sendiri, sementara di sisi lain, pemerintah pusat masih belum mengeluarkan kebijakan yang secara strategis mengakui atau merespons fenomena ini dengan konkret, meski data Badan Pusat Statistik menunjukkan tren peningkatan migrasi keluar untuk usia produktif selama tiga tahun terakhir, khususnya dari kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Bandung.

Fenomena ini tidak hanya menjadi cermin dari krisis kepercayaan terhadap sistem yang ada, tetapi juga memperlihatkan jurang antara ekspektasi generasi muda dan realita sosial yang mereka hadapi setiap hari, mulai dari gaji minimum yang tidak sebanding dengan beban hidup, mahalnya akses pendidikan dan perumahan, hingga sulitnya mendapatkan pekerjaan sesuai bidang studi, di tengah narasi pemerintah soal “bonus demografi” yang seolah menjadi ilusi kosong tanpa kebijakan nyata untuk mendorong lapangan kerja berkualitas dan jaminan kesejahteraan dasar; bahkan sebagian besar warganet menyebut bahwa loyalitas terhadap bangsa tidaklah cukup untuk bertahan hidup secara finansial, sementara kualitas hidup di negara seperti Kanada, Jerman, Jepang, dan Australia sering dijadikan pembanding yang dianggap lebih menjanjikan, dengan jaminan sosial, gaji layak, serta kehidupan yang lebih stabil, mendorong lahirnya komunitas migrasi digital, forum diskusi visa, dan saluran informasi beasiswa internasional yang makin marak diakses oleh pemuda Indonesia, terutama lulusan perguruan tinggi yang merasa terjebak dalam siklus ekonomi stagnan.


Di sisi lain, para pakar menilai bahwa jika tren #KaburAjaDulu tidak segera direspons dengan kebijakan struktural—misalnya melalui reformasi ketenagakerjaan, pemberdayaan UMKM digital, dan akses pembiayaan pendidikan yang merata—maka Indonesia berisiko kehilangan peluang emas dari bonus demografi yang selama ini digembar-gemborkan sebagai modal utama menyambut era Indonesia Emas 2045, karena jika generasi produktif yang seharusnya menjadi penggerak ekonomi justru memilih mencari masa depan di luar negeri, maka dampaknya tidak hanya pada sektor tenaga kerja domestik, tetapi juga pada stabilitas ekonomi nasional dalam jangka panjang, terutama ketika negara-negara maju semakin agresif dalam menarik tenaga terampil dari negara berkembang, menjadikan Indonesia sekadar "pemasok talenta" alih-alih menjadi pusat inovasi dan kemajuan sendiri; dan di tengah polemik ini, penting kiranya bagi pemerintah, institusi pendidikan, serta sektor swasta untuk duduk bersama menyusun langkah konkret agar Indonesia tidak hanya sekadar mempertahankan anak mudanya di dalam negeri, tetapi juga mampu membuat mereka merasa bangga dan layak untuk bertumbuh, berkontribusi, dan bermimpi di tanah sendiri.