JAKARTA – Isu dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali mencuat pada 2025, memicu polemik yang melibatkan Universitas Gadjah Mada (UGM), Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA), serta aparat hukum. Tudingan ini diawali oleh Rismon Hasiholan Sianipar, mantan dosen Universitas Mataram, yang mempertanyakan keaslian ijazah dan skripsi Jokowi dari Fakultas Kehutanan UGM, dengan alasan penggunaan font Times New Roman pada dokumen dianggap tidak wajar untuk era 1980-an. TPUA memperkuat klaim ini dan pada April 2025 mendatangi UGM untuk meminta klarifikasi, melibatkan tokoh seperti Roy Suryo dan Tifauzia Tyassuma dalam analisis dokumen.
Jokowi menanggapi dengan melaporkan pihak-pihak yang dianggap memfitnah ke Polda Metro Jaya pada 30 April 2025, menyertakan bukti ijazah asli dari SD hingga S1. Bareskrim Polri, setelah uji forensik, menyatakan ijazah Jokowi asli pada 22 Mei 2025, dengan bukti seperti berita acara ujian, kartu hasil studi, dan pengumuman kelulusan di Koran Bernas 1980. Penyelidikan dihentikan karena tidak ada unsur pidana. Frono Jiwo, teman seangkatan Jokowi, membenarkan bahwa mereka kuliah bersama sejak 1980 dan lulus pada 1985 dengan ijazah serupa.
TPUA tetap menyebut polisi mengistimewakan Jokowi, dan polemik berlanjut dengan enam laporan polisi di Polda Metro Jaya hingga Juli 2025. Jokowi menyebut ada “orang besar” di balik isu ini tanpa menyebut nama. Mahfud MD menegaskan, meski ijazah terbukti palsu, kebijakan Jokowi sebagai presiden tetap sah, tetapi pelaku pemalsuan bisa dipidana hingga lima tahun. UGM konsisten menyatakan keaslian ijazah Jokowi, dan kasus ini masih disidik untuk menentukan tersangka. (Sumber: Kompas.com, Tempo.co, CNN Indonesia).
Jokowi sendiri menyebut adanya “orang besar” di balik polemik ini, meski enggan membeberkan identitasnya, memicu spekulasi bahwa isu ini merupakan bagian dari manuver politik untuk mendiskreditkan legacy kepemimpinannya pasca-pengunduran dirinya dari jabatan presiden. Mahfud MD, mantan Menko Polhukam, memberikan pandangan hukum bahwa meski ijazah terbukti palsu, kebijakan Jokowi sebagai presiden tetap sah secara konstitusional, tetapi pelaku pemalsuan dokumen bisa dijerat pidana dengan ancaman hingga lima tahun penjara, menambah dimensi hukum dalam debat ini.
Di sisi lain, UGM menghadapi tekanan publik namun tetap konsisten dengan pernyataan resminya, bahkan menggelar konferensi pers pada Juni 2025 untuk menunjukkan dokumen asli dan menjelaskan proses verifikasi internal, yang juga melibatkan Badan Arsip Nasional untuk memastikan integritas data. Reaksi masyarakat terbelah: sebagian mendukung Jokowi, menganggap isu ini sebagai fitnah politik, sementara kelompok lain, terutama pendukung TPUA, terus mempertanyakan transparansi dan menuntut penyidikan independen.
Polemik ini juga memunculkan diskusi luas di media sosial, dengan tagar seperti #IjazahJokowi dan #FitnahPolitik trending di platform X sepanjang Mei hingga Juli 2025, mencerminkan polarisasi publik. Beberapa analis politik, seperti Adi Prayitno dari UIN Syarif Hidayatullah, menyebut isu ini sengaja dihembuskan untuk mengalihkan perhatian dari isu-isu krusial seperti kebijakan ekonomi pemerintahan baru di bawah Prabowo Subianto. Hingga kini, penyidikan masih berlangsung untuk menentukan tersangka, dengan polisi memeriksa saksi tambahan, termasuk mantan pejabat UGM dan pihak yang diduga menyebarkan dokumen palsu. (Sumber: Kompas.com, Tempo.co, CNN Indonesia)